Jejak Di Atas Pasir
Angin sore berhembus lembut, membawa aroma asin dari laut. Alisa duduk di atas pasir pantai, memandangi ombak yang berkejaran di kejauhan. Matanya nanar, penuh kenangan yang tersimpan rapi, namun perlahan menyeruak seperti ombak yang tak mau reda. Di tangannya tergenggam secarik foto lama—foto seorang pria dengan senyum menawan yang kini hanya tinggal bayang-bayang.
"Sudah sore, Kak. Mau sampai kapan di sini?" suara itu membuyarkan lamunannya.
Alisa menoleh, mendapati adiknya, Raka, berdiri dengan tangan di saku celana. Pemuda itu menatapnya dengan raut khawatir.
"Aku cuma ingin menikmati senja," jawab Alisa pelan.
"Kita sudah lama di sini. Kalau terus-terusan datang, bukankah makin sulit untuk melupakan?"
Alisa hanya tersenyum kecil. "Melupakan? Tidak semua orang datang ke sini untuk melupakan, Raka. Kadang, seseorang datang untuk mengingat."
Raka menghela napas panjang. Ia tahu, sejak kecelakaan itu, kakaknya tidak pernah lagi menjadi sosok yang sama. Alisa, yang dulu penuh semangat dan ceria, kini tampak rapuh.
Tiga tahun lalu, pantai ini adalah saksi bisu janji yang mereka ikrarkan. Alisa dan Arya, dua insan yang dipertemukan oleh takdir, sering menghabiskan waktu bersama di sini. Mereka berbicara tentang mimpi, rencana masa depan, hingga obrolan ringan yang tak jarang diiringi tawa renyah.
"Aku akan membangun rumah di dekat pantai ini," ujar Arya saat itu. "Supaya setiap hari bisa melihat senja bersamamu."
Alisa tertawa, menatapnya dengan penuh kasih. "Janji?"
"Janji."
Namun, janji itu pupus dalam sekejap. Kecelakaan yang terjadi di jalan raya itu merenggut nyawa Arya. Mobilnya ditabrak truk yang kehilangan kendali. Hari itu adalah hari mereka seharusnya bertunangan.
"Aku tahu ini berat," suara Raka kembali terdengar, membawa Alisa kembali ke realitas. "Tapi Arya sudah pergi, Kak. Dia tidak ingin melihatmu seperti ini."
"Aku tahu," balas Alisa. Ia berdiri, mengguncang-guncang pasir yang menempel di ujung gaunnya. "Tapi aku merasa dia masih ada di sini. Di tempat ini."
Raka tak membalas. Baginya, perasaan Alisa hanya wujud dari penyangkalan atas kehilangan.
Hari-hari berlalu. Alisa semakin sering mengunjungi pantai itu. Kadang ia datang hanya untuk duduk dan menikmati suara deburan ombak, kadang ia membawa buku dan menulis puisi tentang kenangan-kenangannya bersama Arya. Raka, meski khawatir, tidak pernah melarang. Ia tahu Alisa membutuhkan waktu.
Pada suatu sore yang tenang, saat langit mulai memerah, Alisa mendapati sesuatu yang tak biasa. Di atas pasir, ada sepasang jejak kaki yang memanjang, berakhir di tepi air. Namun, tak ada siapa pun di sekitarnya.
"Jejak siapa ini?" gumamnya, menatap jejak itu dengan alis berkerut.
Ia mengikuti jejak itu, langkah demi langkah, hingga berhenti di ujungnya. Ia memandang sekeliling, tapi pantai itu kosong. Hanya ia dan desir ombak yang terdengar.
"Apa aku berhalusinasi?" pikirnya.
Keesokan harinya, kejadian serupa terulang. Jejak kaki itu muncul lagi, memanjang ke arah yang sama, seolah seseorang tengah berjalan menuju laut.
Alisa merasa penasaran. Pada malam ketiga, ia memutuskan untuk datang lebih awal. Ia menunggu di balik pohon kelapa, berharap bisa menemukan siapa pemilik jejak misterius itu.
Langit mulai gelap, tapi jejak itu kembali muncul, seperti sulap. Perlahan, dari kejauhan, ia melihat bayangan samar. Seseorang berdiri di tepian pantai, membelakanginya.
Jantung Alisa berdegup kencang.
"Siapa itu?" tanyanya setengah berbisik.
Ia memberanikan diri mendekat. Namun, sebelum ia sampai, bayangan itu berbalik, menatapnya dengan tatapan yang tak asing.
"Arya?" suara Alisa hampir tak terdengar.
Bayangan itu tersenyum, tapi kemudian lenyap, meninggalkan Alisa yang berdiri terpaku.
"Kamu pasti hanya bermimpi, Kak," ujar Raka keesokan harinya setelah mendengar cerita Alisa.
"Tapi aku yakin itu nyata, Raka. Aku melihatnya. Dia tersenyum padaku."
"Sudahlah. Mungkin itu hanya imajinasimu yang terlalu merindukannya."
Namun, Alisa tidak menyerah. Malam-malam berikutnya, ia terus datang, berharap bisa melihat Arya lagi. Ia membawa kamera untuk merekam apa pun yang terjadi, tapi hasilnya selalu nihil.
Hingga suatu malam, seorang nelayan tua menghampirinya.
"Kau sering ke sini belakangan ini," ujar pria itu.
"Iya, Pak," jawab Alisa sopan.
"Kau tahu, ada cerita tentang pantai ini. Katanya, roh orang yang belum menyelesaikan janjinya sering kembali ke tempat yang ia rindukan."
Alisa terdiam. Kata-kata pria itu mengusik pikirannya.
"Kalau begitu, apa yang harus kulakukan?" tanyanya.
Nelayan itu tersenyum samar. "Kadang, kita hanya perlu mengikhlaskan, Nak. Mungkin, itulah cara untuk menyelesaikan yang tak terselesaikan."
Malam itu, Alisa duduk di pantai dengan selembar kertas dan pena di tangannya. Ia menulis sebuah surat untuk Arya, mencurahkan segala perasaannya yang selama ini ia pendam.
"Maafkan aku yang sulit melepaskan," tulisnya. "Tapi kini, aku mengerti bahwa melepaskan bukan berarti melupakan. Aku akan selalu mengingatmu, tapi aku akan terus melangkah. Terima kasih untuk semua kenangan indah."
Ia melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam botol kaca. Dengan langkah mantap, ia berjalan ke tepi air dan melemparkan botol itu ke laut.
Angin malam berhembus pelan, membawa aroma ketenangan. Untuk pertama kalinya, Alisa merasa hatinya lebih ringan.
Dari kejauhan, ia seolah melihat bayangan Arya melambai, sebelum akhirnya menghilang bersama angin.
Sejak malam itu, Alisa tidak pernah lagi melihat jejak kaki di pasir. Namun, ia tahu, Arya akan selalu ada di hatinya, bukan sebagai luka, tetapi sebagai kenangan yang indah.